Manajemen risiko dan keamanan adalah aspek fundamental dalam pengelolaan destinasi wisata yang berkelanjutan. Strategi yang efektif tidak hanya melindungi wisatawan, tetapi juga reputasi destinasi itu sendiri.
Berikut adalah strategi utama dalam menjamin keamanan dan keselamatan wisatawan:
1. Identifikasi dan Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Langkah awal adalah mengidentifikasi semua potensi bahaya di destinasi, mulai dari yang bersifat alamiah hingga buatan manusia.
Pemetaan Bahaya Alam: Mengidentifikasi dan memetakan zona rawan bencana (misalnya, longsor, gempa, tsunami, atau aktivitas gunung berapi) serta risiko terkait cuaca ekstrem. Di destinasi alam seperti Hutan Gunung Rajabasa, risiko seperti ular berbisa, jalur licin, atau hipotermia harus dipetakan.
Penilaian Risiko Kriminalitas: Mengidentifikasi area rawan kejahatan (pencopetan, penipuan) dan merancang langkah pencegahan.
Audit Keamanan Fasilitas: Melakukan pemeriksaan rutin terhadap infrastruktur fisik, termasuk jembatan penyeberangan, tangga, homestay, dan peralatan rekreasi (diving gear, tali pendakian) untuk memastikan semuanya memenuhi standar keselamatan.
Analisis Medis: Menilai risiko kesehatan yang mungkin dihadapi wisatawan (misalnya penyakit menular, gigitan serangga, atau akses ke fasilitas medis terdekat).
2. Peningkatan Standar Operasional dan Prosedur (SOP)
Penerapan SOP yang ketat dan seragam sangat penting untuk meminimalkan kecelakaan.
SOP Keselamatan Aktivitas Khusus: Setiap aktivitas wisata berisiko tinggi (pendakian, rafting, snorkeling) harus memiliki SOP yang detail, termasuk persyaratan peralatan wajib, rasio pemandu-wisatawan, dan batas usia/kesehatan.
Penerapan Lisensi dan Sertifikasi: Mewajibkan semua pemandu wisata, operator tur, dan penyedia jasa akomodasi untuk memiliki lisensi dan sertifikasi keamanan yang berlaku (misalnya sertifikasi keahlian memandu, sertifikat Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability/CHSE).
Pelatihan Kedaruratan: Melatih staf lokal dan anggota Pokdarwis secara rutin dalam pertolongan pertama (First Aid), evakuasi darurat, dan prosedur komunikasi krisis.
3. Komunikasi dan Informasi Keamanan Publik 📢
Informasi yang jelas dan mudah diakses adalah kunci untuk memungkinkan wisatawan membuat keputusan yang aman.
Papan Peringatan Multi-Bahasa: Memasang papan informasi dan peringatan keselamatan di titik-titik strategis (misalnya di pintu masuk jalur pendakian, area air terjun, atau pantai). Informasi harus disampaikan dalam bahasa lokal dan bahasa internasional.
Briefing Keselamatan (Safety Briefing): Mewajibkan operator tur atau pemandu untuk memberikan briefing singkat mengenai risiko dan SOP sebelum aktivitas dimulai.
Penyediaan Kontak Darurat: Mencantumkan nomor telepon darurat (polisi, medis, SAR lokal) di homestay, area umum, dan materi promosi.
Teknologi Informasi: Mengembangkan aplikasi atau sistem digital untuk melacak pergerakan wisatawan di area terpencil (misalnya pendakian) dan mengirimkan peringatan dini cuaca atau bahaya.
4. Kesiapsiagaan dan Respons Darurat (Emergency Response)
Memastikan destinasi siap merespons berbagai insiden secara cepat dan terkoordinasi.
Rencana Kontingensi Bencana: Menyusun dan menguji secara berkala rencana penanganan krisis (misalnya, evakuasi massal saat tsunami atau letusan gunung berapi), termasuk jalur evakuasi yang jelas.
Kerja Sama Lintas Sektor: Membangun kemitraan yang kuat antara pengelola destinasi, otoritas lokal (Polisi, SAR, Pemadam Kebakaran), dan fasilitas kesehatan untuk respons yang terintegrasi.
Fasilitas Kesehatan: Memastikan akses yang memadai ke pos kesehatan atau klinik terdekat, atau menyediakan posko medis sementara di destinasi selama periode puncak kunjungan.
Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara komprehensif, destinasi wisata dapat membangun kepercayaan wisatawan dan memastikan pengalaman perjalanan yang tidak hanya berkesan tetapi juga aman dan nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar